Koori Nagawa Network. Powered by Blogger.

Koori Nagawa Network

Budaya politik parokial (parochial political culture)




Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.

Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.

Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan.

Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.

Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.

Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.

Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)

Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.

Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.

Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.

Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.

Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.

Budaya politik partisipan (participant political culture)

Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.

Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.

Budaya politik campuran (mixed political cultures)

Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni.

Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial, kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau disebut budaya politik campuran (mixed political cultures).

Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :

1.Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)

Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.

Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki "kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu.

Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.

2.Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)

Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.

Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.

3.Kebudayaan parochial partisipan (The parochial Culture)

Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.

Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.


Negara berkembang adalah sebuah negara dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur yang relatif terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan dengan norma global. Istilah ini mulai menyingkirkan Dunia Ketiga, sebuah istilah yang digunakan pada masa Perang Dingin.

Perkembangan mencakup perkembangan sebuah infrastruktur modern (baik secara fisik maupun institusional) dan sebuah pergerakan dari sektor bernilai tambah rendah seperti agrikultur dan pengambilan sumber daya alam. Negara maju biasanya memiliki sistem ekonomi berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menahan-sendiri.

Penerapan istilah 'negara berkembang' ke seluruh negara yang kurang berkembang dianggap tidak tepat bila kasus negara tersebut adalah sebuah negara miskin, yaitu negara yang tidak mengalami pertumbuhan situasi ekonominya, dan juga telah mengalami periode penurunan ekonomi yang berkelanjutan.

Negara Industri baru adalah klasifikasi negara yang mempunyai perekonomian sangat baik namun belum mencapai tahap negara maju. Syarat lain sebuah negara dikatakan negara industri baru adalah berdasarkan hasil ekspornya. Beberapa negara industri baru diperkirakan akan memimpin perekonomian dunia pada tahun 2050:China,India,Brasil dan Meksiko.

Untuk keperluan operasional dan analitis, kriteria utama Bank Dunia untuk mengklasifikasikan ekonomi adalah pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita istilah ini disebut sebagai produk nasional kotor, atau GNP. Berdasarkan GNI per kapita, setiap ekonomi diklasifikasikan sebagai pendapatan rendah, pendapatan menengah (dibagi menjadi menengah bawah dan menengah ke atas), atau pendapatan tinggi. kelompok analitis lainnya berdasarkan wilayah geografis juga digunakan.

Sejarah singkat

Pendapatan kategori analitis Bank Dunia (rendah, menengah, penghasilan tinggi) didasarkan pada kategori operasional Bank pinjaman (pekerjaan sipil preferensi, kelayakan IDA, dll).

Definisi kelompok

Tabel ini mengklasifikasikan semua negara anggota Bank Dunia (187), dan semua negara lain dengan populasi lebih dari 30.000 (213 total).

Geografis wilayah: Klasifikasi dan data yang dilaporkan untuk wilayah geografis adalah untuk berpenghasilan rendah dan ekonomi menengah saja. Berpenghasilan rendah dan menengah ekonomi kadang-kadang disebut sebagai pengembangan ekonomi. Penggunaan istilah ini nyaman, tetapi tidak dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa semua ekonomi dalam grup tersebut mengalami perkembangan yang sama atau bahwa ekonomi lainnya telah mencapai tahap yang disukai atau akhir pembangunan. Klasifikasi oleh pendapatan tidak selalu mencerminkan status pembangunan.

Penghasilan grup: Ekonomi dibagi menurut 2009 GNI per kapita, dihitung dengan menggunakan metode Atlas Bank Dunia. Kelompok-kelompok adalah: pendapatan rendah, $ 995 atau kurang, pendapatan menengah ke bawah, $ 996 - $ 3945; penghasilan menengah ke atas, $ 3,946 - $ 12,195, dan pendapatan yang tinggi, $ 12.196 atau lebih.

Lending kategori: negara-negara IDA adalah mereka yang memiliki pendapatan per kapita pada 2009 kurang dari $ 1.165 dan kurangnya kemampuan keuangan untuk meminjam dari IBRD. Pinjaman IDA adalah pinjaman sangat lunak-bunga-bebas dan hibah untuk program-program yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kondisi hidup. pinjaman IBRD adalah noncessional. Blend negara yang memenuhi syarat untuk pinjaman IDA karena rendahnya pendapatan per kapita, tetapi juga memenuhi syarat untuk pinjaman IBRD karena mereka secara finansial kredit.

Catatan: klasifikasi Pendapatan ditetapkan setiap tahun pada tanggal 1 Juli. Klasifikasi ini analitis resmi adalah tetap selama tahun fiskal Bank Dunia (berakhir pada tanggal 30 Juni), sehingga negara tetap dalam kategori di mana mereka diklasifikasikan terlepas dari setiap revisi mereka data per pendapatan kapita. Taiwan, Cina, juga termasuk dalam penghasilan tinggi.

Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menganalisasi sistem politik ekonomi di Negara-negara berkembang. Selain teori moderenisasi yang telah dijelaskan, kali ini akan dijelaskan beberapa teori yang merupakan kritik terhadap teori moderenisasi. Teori tersebutantara lain teori dependensi dan sistem ekonomi kapitalis dunia. Dengan memahami kedua teori ini, diharapkan mahasiswa mampu menganalisa dan memahami mengapa Negara-negara berkembang termasuk Indonesia sulit melakukan perubahan menjadi masyarakat modern seperti yang dicita-citakan.

Politik Ekonomi Ketergantungan

Dos Santos (dalam Suwarsono dan So, 1986 : 98-101), merumuskan bahwa hubungan dua Negara atau lebih mengandung bentuk ketergantungan jika beberapa Negara ( yang dominan) dapat berkembang dan memiliki otonomi dalam pembangunannya, sementara Negara lainnya (yang tergantung) dapat melakukan hal serupa hanya sekedar merupakan refleksi perkembangan Negara dominan. Yang tidak sederajat, karena pembangunan di Negara dominan terjadi atas biaya dalam hubungan perdagangan internasional, hubungan utang-piutang dan ekspor modal dalam hubungan perdagangan modal, surplus ekonomi yang dihasilkan dinegara tergantung mengalir dan berpindah ke Negara dominan. Bagi Negara tergantung, pemindahan surplus ekonomi ini menyebabkan tidak dapat berkembang pasar dalam negri, menghambat kemampuan teknik dan memperlemah keandalan budayanya.
Pernyataan di atas adalah kesimpulan dari hasil penelitian Dos Santos tentang fakta perkembangan politik dan ekonomi di Negara-negara berkembang sangat tergantung kepada Negara-negara dominan yang memiliki kekuasaan dan capital besar. Artinya program pembangunan yang disponsori oleh Negara-negara maju pada kenyataannya banyak menguntungkan Negara maju dan membuat Negara-negara berkembang ketergantungan dan mengalami krisis ekonomi.

Selain itu Dos Santos berdasarkan tinjauan sejarah menjelaskan tiga bentuk ketergantungan.
Pertama, ketergantungan colonial dan industrial. Jenis ketergantungan ini terjadi pada masa kolonialisme dan imperialism. Negara-negara dominan melakukan monopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, (perbabuab dan perbudakan), dan ekspor emas, perak, barang-barang hasil bumi dari Negara yang dijajah. Kemudian setelah abad ke-19 muncul ketergantungan industry keuangan muncul. Untuk mendapatkan uang, ekonomi Negara berkembang menjadi terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian untuk keperluan konsumsi dan pasar Negara-negara Eropa. Selanjutnya oriantasi ekspor ditambah dengan produk-produk bahan jadi, dan ekspor tenaga kerja di saat kegiatan ekspor melemah. Selanjutnya setelah usai perang dunia ke II, Negara ketiga memasuki masa ketergantungan pada teknologi industry,akibat mulai berkembang industry-industri di Negara-negara berkembang. Menurut Dos Santos, pembangunan yang bergantung pada ekspor bahan mentah, keuntungannya sebagian besar dinikmati kembali Negara-negara dominan karena surplus ekonomi yang didapat digunakan untuk membeli mesin-mesin industry.

Kedua, Negara-negara berkembang pembangunan menjadi tergantung pada neraca pembayaran internasional. Ketergantungan ini mengakibatkan Negara-negara berkembang selalu deficit untuk memenuhi anggaran pembangunannya karena utang yang besar. Deficit salah satunya disebabkan oleh monopoli keatas pasar internasional yang mengakibatkan rendahnya harga pasar produk-produk bahan mentah dan tingginya harga produk industry. Selain itu munculnya bahan-bahan sintesis pengganti bahan mentah, Negara-negara berkembang yang tergantung pada ekspor bahan mentah menjadi tidak bisa mengelak dari deficit anggaran.

Deficit yang terjadi di Negara berkembang, terjadi pula karena Negara-negara maju membawa keuntungan besar yang diperoleh dari Negara berkembang. Misalnya, biaya transportasi, perbayaran royalty, biayabantuan teknis ke Negara asalnya, merupakan keuntungan besar yang didapat Negara-negara maju. Jika dikalkulasikan modal yang dikeluarkan Negara berkembang jauh lebih banyak dibandingkan jumlah modal asing yang ditanamkan. Kondisi ini di gambarkan sebagai berikut, pada tahun 1956-1967, setiap dollar yang masuk, dua dollar tujuh puluh sen yang keluar.

Ketiga ketergantungan Negara-negara berkembang kepada teknologi yang dimiliki oleh Negara-negara maju. Perusahaan transional tidak begitu mudah menjual mesin, teknologi, dan proses pembuatan bahan mentah menjadi barang jadi, mereka menurut pembayaran royalty dan menjadikan mesin serta teknologi sebagai bagian dari penanaman modal di Negara-negara berkembang. Di lain pihak, Negara dunia ketiga kekurangan devisa untuk membeli mesin dan teknologi dari Negara maju. Akibatnya pihak Negara berkembang member kemudahan kepada masuknya investasi asing untuk memperoleh keperluan teknologi yang dibutuhkan. Dalam situasi keuntungan lebih banyak mengalir ke Negara-negara maju. Kondisi ketergantungan teknologi member dampak-dampak negative terhadap Negara berkembang. Dampak tersebut dapat kita pahami sebagai berikut :
1. Di tingkat Internasional terjadi ketimpangan pembangunan. Secara nyata dapat dilihat ditingkat regional dan nasional. Hal ini terlihat pada perbedaan struktur produksi antara ekspor produksi hasil pertanian ( Negara berkembang ) dan ekspor teknologi (Negara maju ).

2. Penggunaan teknologi padat modal dan pelimpahan, serta murahnya tenaga kerja mengakibatkan terjadinya perbedaan tajam dari berbagai tingkat upah domestic. Meminjam istilah Marxis , kondisinya sudah mengarah kepada eksploitasi tenaga kerja.

3. Perkembangan pasar domestic mengalami hambatan. Pertumbuhan pasar dibatasi oleh rendahnya daya beli masyarakat, sebagai akibatkecilnya lowongan pekerjaan industry padat modal. Pertumbuhan pasar barang industry terhambat karena laba usaha yang dihasilkan banyak mengalir ke luar negri.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterbelakangan ekonomi Negara berkembang disebabkan oleh pengawasan ketat dan monopoli modal asing, pembiayaan pembangunan dengan modal asing, serta penggunaan teknologi, yang di kuasai oleh Negara-negara maju. Negara-negara berkembang menjadi sulit tercapai posisi yang menguntungkan. Penganut teori dependensi menganjurkan agar Negara-negara berkembang menganut model pembangunan “berdiri di kaki sendiri”, dengan membangun sistem kerjasama dengan Negara maju yang saling menguntungkan tidak di atas dominasi Negara central. Menurut kajian Sritua Arief dan Adi Sasono ( dalam Suwarsono dan So, 1986:122-125), di Indonesia sejak pada jaman orde baru ketergantungan dan keterbelakangan sudah berwujud.

Politik Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia

Teori sistem mencoba menganalisa perkembangan ekonomi di luar dari kajian moderenisasi dan teori indepedensi. Teori sistem ekonomi kapitalis dunia berpendapat bahwa perkembangan ekonomi dunia berkembang pasang dan surut, melalui fase-fase tertentu. Fase-fase ini dilihat dari dinamika sejarah sistem ekonomi kapitalis dunia yang terlihat seperti siklus. Yang menjadi wilayah kajian teori sistem meliputi seluruh Negara-negara di dunia yang di katagorikan menjadi Negara pinggiran, semi pinggiran dan sentral. Inti kajiannya menjelaskan bagaimana terbentuknya sistem ekonomi kapitalisme dunia, termasuk kajian dalam suatu Negara. Untuk memudahkan pemahaman teori ini, berikut hasil kajian para penganut teori sistem ekonomi kapitalisme dunia terhadap Negara Cina.

Fase Penarikan
Setelah revolusi Komunis 1949, Partai Komunis Cina (PKC) memutuskan hubungan diplomatic dengan hamper semua Negara-negara barat. Politik isolasi ini tidak lama kemudian diikuti dengan isolasi ekonomi. Untuk mendapatkan dukungan rakyat PKC melakukan reformasi tanah. Tanah-tanah milik tuan tanah dirampas dan di bagikan kepada rakyat miskin. Tanah pertanian dan sumber alam dijadikan milik bersama. Semua bekerja secara kolektid dalam satuan tim produksi untuk kepentingan komunitasnya. Di perkotaan dilakukan nasionalisasi terhadap perusahaan milik para pengusaha pribadi. Untuk mengurangi kekecewaan para pengusaha tersebut diangkat menjadi manajer-manajer di perusahaan milik Negara. Kemudian penarikan anggota partai, seleksi mahasiswa, dan manajer pabrik lebih diutamakan berdasarkan criteria asal usul kelas sosialnya, di banding berdasarkan kemampuan teknis yang mereka miliki. Cina benar-benar ingin keluar dari sistem ekonomi kapitalis dunia. Namun setelah runtuhnya komunisme internasional, cina memulai fase kedua untuk kembali memasuki sistem ekonomi kapitalis dunia.

Fase Integrasi Kembali
Sejak akhir tahun 1970 an, Negara-negara kapitalis sentral mulai menurunkan derajat intensitas kebijaksanaan tidak bersahabatnya dengan RRC, karena nampaknya mereka menyadari bahwa memusnahkan rezim sosialis dengan kebijaksanaan militer hanya sia-sia belaka. Kemudian Negara-negara kapitalis memulai melihat keuntungan yang bisa di dapat dengan membuka hubungan dengan cina. Negara kapitalis dapat memanfaatkan tenaga murah dan berlimpah, bahan mentah, bahan tambang dan besarnya pasar RRC.

Sejak tahun 1970-an, RRC mulai menganut politik pintu terbuka untuk mendorong berdirinya berbagai bentuk usaha di RRC yang sepenuhnya milik modal asing. Pada tahun 1980-an, disamping secara formal masih tetap ada larangan impor, barang-barang konsumsi dari barat, seperti televise, lemari pendingin, sepeda, membanjiri cina bersaing dengan produk dalam negeri. Oleh karena itu usahawan Cina dituntut untuk memproduksi barang dengan mutu yang lebih baik dan harga murah jika ingin tetap menguasai pasar dalam negeri.

Cina melakukan rekrukturisasi. Di pedesaan kebijakan kerja kolektif dihapuskan, kepemilikan bersama atas tanah ditiadakan. Sistem kepemilikan dialihkan kepada individu dari sebuah keluarga. Membangun kembali usaha-usaha kolektif maupun individual menggantikan peran perusahaan Negara. Para birokrat pun tidak terlalu banyak ikut campur dalam kegiatan usaha. Pendidikan setingkat universitas berkembang pesat dengan sistem seleksi nasional untuk memilih calon terbaik. Kader-kader politik yang sudah lanjut usia dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebijaksanaan reformasi diganti dengan kader-kader generasi muda yang lebih terdidik. Kini kelompok social yang dulu hamper punah seperti para pemilik modal asing, petani kaya, para pemilik modal domestic, kelas menengah, dan birokrat, telah lahir kembali dan memperteguh posisi politik mereka kembali.

Selain itu para ahli penganut sistem ekonomi kapitalis dunia, menyebutkan pola-pola fase yang sama terjadi pada pembangunan ekonomi di Hongkong. Ekonomi Hongkong bergerak dari fase awal industrialisasi ketika masih memfokuskan pada ekspor pakaian murah, menuju fase baru ketika Hongkong memberikan perhatian pada ekspor barang bermutu tinggi dan jasa. Terakhir Hongkong berubah menjadi salah satu pusat industry keuangan dunia. Demikian para penganut sistem ekonomi kapitalis dunia menjelaskan bagaimana perkembangan politik ekonomi dunia secara siklus. Pola-pola semacam ini akan terus bergerak silih berganti sesuai dengan perkembangan jaman. Sekarang para penganut teori ini memprediksi bahwa uang akan bergerak ke Timur, seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi Cina.