Menurut Paul Hoffman, gambaran suatu negara yang terbelakang adalah suatu negara yang ditandai oleh kemiskinan, kota yang dipadati oleh pengemis, yang jarang memiliki industri, persediaan tenaga listrik yang tidak memadai, tidak memiliki jalan raya dan jalan kereta api yang cukup, pemerintah belum dapat memberikan pelayanan yang memadai, komunikasi yang buruk, Rumah sakit dan lembaga pendidikan tinggi sangat sedikit, Sebagian besar penduduk buta huruf dan miskin, sistem perbankan jelek, dan ekspornya ke negara lain sama sekali terdiri bahan mentah, hasil tambang, atau buah-buahan dan beberapa bahan makanan.
Situasi sosial dunia dewasa ini ditandai kontraiksi. Meskipun sejak tahun 1970 pembangunan sosial beberapa negara mengalami kemajuan, sebagian besar bangsa masih dilanda perang, konflik sipil, pelanggaran HAM, pemerintahan korup, tekanan penduduk dan kemiskinan. Keadaan fisik dunia pun terus memprihatinkan. Masyarakat di berbagai belahan dunia menghadapi penurunan kualitas hidup akibat polusi, deforestasi, erosi tanah, kepunahan binatang, bencana alam, dan degradasi lingkungan hidup serta keragaman hayati.
Sebuah studi komprehensif yang dilakukan Bank Dunia memperkirakan bahwa 1,2 milyar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan. Setengah dari jumlah itu, hidup dalam kemiskinan absolut: tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang paling dasar sekalipun. UNDP memperkirakan bahwa 2/3 penduduk miskin di dunia berada di 9 negara Afrika-Asia dan 1 Amerika Latin: Ethiopia, Nigeria, Bangladesh, India, Indonesia, Pakistan, Pilipina, Cina, Viet Nam, dan Brazil. Sebagian besar penduduk miskin adalah wanita dan anak-anak di pedesaan. Kondisi kemiskinan sangat akut terutama pada keluarga yang dikepalai wanita yang suaminya pergi ke kota mencari pekerjaan. Seperti dilansir UNDP (1994), dunia kini bukan saja sedang mengalami globalisasi ekonomi, melainkan juga globalisasi kemiskinan. “Kemiskinan kini tidak lagi mengenal batas negara. Kemiskinan telah menjadi fenomena global. Ia berjalan menyebrangi perbatasan, tanpa paspor, dalam bentuk perdagangan obat-obat terlarang, penyakit, polusi, migrasi, terorisme, dan ketidakstabilan politik.”
Dua masalah serius yang menyebabkan rendahnya pembangunan sosial di negara-negara berkembang dan terbelakang adalah tekanan penduduk dan kemiskinan. Tingkat pertumbuhan penduduk dunia tahun 1995 mencapai 1,7%. Dengan tingkat pertumbuhan itu, jumlah penduduk dunia akan mencapai 6,1 miliar di tahun 2000, 7 miliar di tahun 2010, dan 8,2 miliar pada tahun 2025. Ironisnya, 80% dari pertumbuhan penduduk dunia sejak tahun 1960 terkonsentrasi di Asia, Afrika dan Amerika Latin, dan 95% dari peningkatan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin di wilayah tersebut.
Tiga Kecenderungan
Berdasarkan studi terhadap 160 negara, Estes (1998) mengklasifikasikan potret pembangunan sosial kedalam tiga kategori: Negara Maju (World Social Development Leaders), Negara Berkembang Menengah (Middle Performing Countries), dan Negara Berkembang Terbelakang (Socially Least Developing Countries).
Karakteristik Pembangunan Sosial
Terdapat 33 negara yang masuk kategori Negara Maju. Sebanyak 26 negara berada di kawasan Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Inggris,dst.) dan 6 diantaranya masuk bagian Eropa Timur dan Tengah (Bulgaria, Hongaria, Polandia, Slovenia, Republik Slovak dan Czechnya). Dua negara, Estonia dan Ukraina, merupakan negara yang baru merdeka dari bekas Uni Sovyet. Mayoritas negara-negara ini memiliki sejarah demokrasi yang kukuh dan sistem ekonomi terbuka. Kondisi ekonominya sangat baik dan stabil. Rata-rata GDP mencapai $18.700 dengan inflasi yang relatif rendah (3,1%). Tingkat tabungan dan investasi tinggi, sedangkan utang luar negerinya sangat rendah.
Sebagian besar Negara Maju adalah negara kecil dengan penduduk kurang dari 25 juta dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4% per tahun. Tingkat kematian bayi di negara-negara ini sangat rendah, hanya 8 orang per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan usia harapan hidup mencapai 79 tahun dengan ketergantungan anak hanya 20%. Sebagian besar penduduknya (98%) dapat membaca dan melanjutkan pendidikan tinggi. Satu faktor utama yang menyebabkan majunya pembangunan sosial di negara-negara ini adalah adanya jaminan sosial universal yang melindungi setiap penduduknya dari resiko kehilangan pendapatan, seperti kecelakaan kerja, sakit, cacat, masa tua, hamil, dan pengangguran. Sebesar 46% dari GNP-nya dikeluarkan untuk mebiayai berbagai pelayanan sosial dan kesehatan (OECD, 1996).
Negara-negara yang masuk kategori Negara Berkembang Menengah menyebar diseluruh wilayah geografis: Asia (36 negara), Amerika Latin (22), Afrika (10), dan Oceania (1). Sebagian besar negara-negara ini telah memiliki apa yang disebut “social ingredients” yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial dan ekonomi maju, seperti stabilitas politik, dinamika ekonomi, akses ke sumber daya alam (khususnya enegi), kualitas kesehatan, pendidikan dan sistem jaminan sosial. GNP per kapita di Negara Berkembang Menengah juga relatif tinggi, sekitar US$4910 dengan pertumbuhan 2,3% per tahun dan laju inflasi 7% per tahun. Tingkat pengangguran relatif rendah, sekitar 13,1% dari jumlah angkatan kerja. Namun demikian, beberapa negara masih memiliki kondisi sosial ekonomi yang rentan, seperti pemerintahan korup, jumlah dan pertumbuhan penduduk tinggi, tingginya pengangguran dan meluasnya kemiskinan.
Negara yang termasuk kategori Negara Berkembang Terbelakang berjumlah 38. Sebagian besar berada di Afrika (29 negara), 7 negara di Asia,1 negara di Amerika, dan 1 negara di Pasifik Selatan. Terbelakangnya pembangunan sosial di negara ini terlihat dari rendahnya kualitas hidup, seperti rendahnya usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi (110/1000) dan anak (177/1000). Tingginya kematian bayi dan anak merupakan yang tertinggi di dunia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit menular.
Jumlah dan pertumbuhan penduduk di Negara Berkembang Terbelakang sangat tinggi, terutama disebabkan oleh rendahnya penggunaan alat KB dan tingginya migrasi internal. Yang penting dicatat, migrasi penduduk di negara-negara ini tidak hanya dipengaruhi oleh motive ekonomi, melainkan juga oleh perang, konflik sipil dan ketidakstabilan politik. Konsekuensi sosial dari tingginya migrasi ini adalah (a) penelantaran anak, lanjut usia, dan kelompok tidak produktif di daerah pedesaan, (b) melemahnya, atau bahkan hilangnya, nilai-nilai tradisional dan keeratan keluarga, (c) memudarnya budaya dan praktek pertanian, (d) meluasnya kemiskinan, kekurangan gizi, dan kematian dini bagi orang yang tidak dapat bertahan hidup di kota besar yang padat polusi dan penduduk. Hingga hari ini, belum ada satu negarapun yang mampu mengatasi problema migrasi ini dengan efektif.
Rata-rata GDP di negara-negara berkembang terbelakang ini sekitar US$950. Pertumbuhan ekonominya juga sangat rendah, hanya sekitar 3% dengan inflasi tinggi, mencapai 37%. Sarana komunikasi dan transportasi sangat terbatas, serta daya saing di pasar internasional juga sangat terbatas. Tabungan pemerintah dan sektor swasta sangat rendah, sementara utang luar negerinya sangat tinggi. Pemerintahan di sebagian besar negara ini sangat sentralistik. Roda ekonomi sangat tergantung pada gabungan antara pinjaman luar negeri, bantuan negara donor, dan investasi swasta dari luar negeri. Tingkat pengangguran di Negara Berkembang Terbelakang juga sangat tinggi. Meski secara resmi tercatat 20%, kenyataannya bisa lebih dari itu. Pengangguran terutama dialami oleh wanita, laki-laki berusia lebih ari 45 tahun, para penyandang cacat dan buta hurup.
Pengeluaran negara untuk program sosial sangat minimal. Sebagian besar negara bahkan tidak menyediakan asuransi dan jaminan sosial untuk pengangguran, sakit, hamil, kematian, dan cacat. Ironisnya, pengeluaran negara untuk Hankam di negara-negara ini mencapai 4,6% dari GNPnya yang berarti 50% lebih tinggi dari pada di Negara Berkembang Menengah.
Kecenderungan
Menurut studi ini, ada tiga kecenderungan yang perlu di catat. Pertama, negara-negara yang masuk kategori Negara Maju berpusat di tiga wilayah, yaitu Australia-Selandia Baru dengan skor ISP rata-rata sebesar 84,5, Eropa (82,8) dan Amerika Utara (80,4). Ironisnya, negara-negara ini juga mengalami penurunan ISP cukup drastis dalam periode 1990-95. Amerika Utara mengalami penurunan sebesar 14%, Eropa 9%, dan Australia-Selandia Baru 9%. Penurunan ini disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang melanda wilayah tersebut yang memuncak di tahun 1990 dan berdampak terus hingga 1995.
Kedua, secara individu kategori Negara Maju didominasi oleh negara yang menerapkan sistem Negara Kesejahteraan (welfare state). Denmark meduduki peringkat 1 dengan skor ISP mencapai 98,4, diikuti oleh Norwegia (95,6), Austria (93,2), Swedia (93,1), dan Finlandia (90,8). Di negara-negara ini 40% dari anggaran belanja negaranya dikeluarkan untuk pembangunan sosial.
Ketiga, mayoritas negara-negara yang berkategori Negara Berkembang Menengah terletak di kawasan Amerika Latin dengan skor ISP rata-rata 53,1 dan Asia (41,2). Sedangkan kategori Negara Berkembang Terbelakang terkonsentrasi di wilayah Afrika (20,1). Pengeluaran negara untuk pembangunan sosial di negara-negara ini tidak lebih dari 10%, dan umumnya lebih kecil daripada anggaran untuk Hankam.