Oleh Abdi Kurnia Djohan
Dosen Agama Islam UI, Mantan Ketua Lembaga Dakwah Al-Azhar
Dipancungnya Ruyati binti Satubi di Arab Saudi telah menimbulkan kegusaran sebagian kalangan di dalam negeri. Kegusaran itu semakin menjadi setelah publik melihat sikap pemerintah yang dinilai lamban mengantisipasi eksekusi hukuman pancung terhadap pahlawan devisa tersebut.
Di samping itu, eksekusi terhadap Ruyati melahirkan implikasi lain di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yaitu persoalan kepercayaan terhadap ajaran Islam yang selama ini direpresentasikan oleh bangsa Arab. Seorang kawan pernah bertanya, apakah benar hukuman pancung diatur di dalam syariat Islam dan apakah proses peradilan yang dijalani oleh Ruyati benar-benar sesuai dengan ajaran Islam?
Terulangnya kasus penghukuman terhadap TKI tanpa disadari berpotensi melahirkan sikap Islamofobia. Setidaknya, kecenderungan itu ditunjukkan di dalam demo yang dilakukan oleh salah satu ormas di depan Kedutaan Arab Saudi. Di dalam demo itu digambarkan seorang TKI yang disiksa oleh orang-orang Arab dan kemudian ditolong oleh sekelompok orang dari ormas tersebut yang memukuli orang-orang Arab tersebut.
Hubungan bangsa Indonesia dan bangsa Arab telah terjalin dalam waktu yang sangat lama, bahkan sebelum kedatangan bangsa Eropa ke nusantara. Eratnya jalinan hubungan itu terjadi sampai ke tingkat inisialisasi identitas di antara dua bangsa.
Di beberapa tempat di Indonesia dijumpai wilayah-wilayah yang diberi nama dengan peristilahan Arab. Buya Hamka di dalam Sejarah Islam di Indonesia, misalnya, menyebutkan bahwa nama Pariaman di Sumatra Barat yang diambil dari frasa bahasa Arab, yaitu barri aman, yang bermakna 'daratan yang aman'. Demikian pula dengan daerah Maluku yang terambil dari kata 'mulukun' yang bermakna daerah yang banyak kerajaannya.
Jalinan hubungan di antara bangsa Arab dan Indonesia secara kebetulan terjadi karena faktor ajaran Islam yang diterima oleh masyarakat Indonesia pada abad ketujuh, jika merujuk pada sejarah Barus di Sumatra Utara. Kuatnya jalinan hubungan itu telah melahirkan intimasi di antara keduanya sehingga terjadi kesatuan indentifikasi di antara bangsa Indonesia dan Arab. Kesatuan itu tidak saja terjadi di Indonesia, akan tetapi juga di Hijaz, nama Arab Saudi sebelum abad ke-19.
Menurut catatan yang dihimpun oleh Azyumardi Azra di dalam Jaringan Ulama Nusantara, disebutkan bahwa orang-orang Indonesia banyak yang mempunyai kedudukan terhormat sebagai ulama di tengah-tengah masyarakat Hijaz. Sehingga, pada masa itu, di Makkah dan Madinah dikenal istilah 'ashabul jawiyyin' (orang-orang Jawa) untuk mengidentifikasi jaringan orang-orang Indonesia yang menguasai jaringan pendidikan dan perdagangan di wilayah Hijaz.
Bahkan, sampai dengan 1980-an, muruah bangsa Indonesia masih terlihat dengan keberadaan seorang ulama karismatik keturunan Minangkabau, Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani (Padang). Apresiasi terhadap bangsa Indonesia ditunjukkan dengan dikabulkannya usulan Komite Hijaz pada 1926 yang dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah, agar Raja Abdul Aziz tidak menghancurkan makam Nabi Muhammad SAW.
Norma dan kebutuhan
Kebutuhan tenaga kerja di Saudi mulai menggeliat pada era 1970-an. Naiknya Fahd bin Abdul Aziz sebagai Raja Saudi pada 1980-an menegaskan keinginan Saudi untuk menjadi negara Arab modern di wilayah Timur Tengah. Upaya modernisasi itu dilakukan dengan meninggalkan kesahajaan yang menjadi ciri khas Saudi tempo dulu dan menggantinya dengan kemewahan.
Kebutuhan tenaga kerja di sektor rumah tangga mengalami peningkatan seiring dengan semakin makmurnya kehidupan perekonomian masyarakat. Namun, yang perlu diketahui, gemerlapnya kehidupan ekonomi di Saudi tidak sebanding dengan kualitas sumber daya manusia.
Di dalam laporan mengenai pembangunan sumber daya manusia, United Nations Development Programme mencatat, minimnya angka indeks pendidikan di Saudi. Tercatat, sejak 2005 hingga 2007 indeks pendidikan hanya berkisar pada angka 0,8 dan pada 2007 sekitar 0,828. Dari angka itu saja dapat diprediksi bagaimana sesungguhnya persepsi masyarakat Saudi pada umumnya terhadap perkembangan global saat ini.
Dari angka indeks itu dapat pula dipahami bagaimana persepsi masyarakat Saudi terhadap tenaga kerja. Susan Taylor Martins koresponden Saint Petersburg Times di Riyadh mencatat, kondisi enam juta pekerja asing di Saudi disebut mengalami modern-day slavery. Kondisi tersebut tidak saja dialami oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor rumah tangga, tapi juga dialami oleh tenaga kerja asal Srilanka, Bangladesh, Pakistan, dan beberapa negara Asia lainnya.
Persoalan perlakuan Saudi terhadap tenaga kerja asing tidak dapat semata-mata dipandang selesai menurut cara pandang hukum internasional. Di dalam konteks hukum internasional, Saudi juga mempunyai kedaulatan penuh atas wilayahnya. Ditambah lagi, kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan hak asasi manusia selama ini tidak pernah mendapat protes atau teguran dari sekutu abadinya Amerika Serikat.
Karena itu, di dalam kaitannya dengan penyelamatan tenaga kerja rumah tangga seperti yang dialami oleh Ruyati, penyelesaian masalahnya tidak cukup dengan melakukan pendekatan diplomatik. Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan kewibawaan bangsa dengan mendorong peran lembaga-lembaga keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU), untuk mendorong terbentuknya kaukus kerja sama ketenagakerjaan di antara negara-negara anggota OKI.
Pendekatan keagamaan tersebut penting untuk dilakukan mengingat hukum yang berlaku di Saudi sebagian besarnya bersumberkan dari syariah. Sehingga, dengan pendekatan-pendekatan normatif seperti ini diyakini jalinan ukhuwah di antara dua bangsa yang telah berlangsung selama berabad-abad menemukan kembali ruhnya. Wallahu a'lam.