Koori Nagawa Network. Powered by Blogger.

Koori Nagawa Network



Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga legislatif bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebelum Reformasi, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.

Sejarah

Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.

Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).

Masa Orde Lama (1945-1965)

Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena gentingnya situasi saait itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) menyebutkan, Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar.

Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22 April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
- Pembubaran Konstituante,
- Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung

Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
- MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
- Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
- Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
- Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh Presiden.
- MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk.

Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Seokarno memenuhi permintaan MPRS dalam suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”.

Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

Masa Reformasi (1999-sekarang)

Bergulirnya reformasi yang menghasilkan perubahan konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal.

Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” , setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui cara-cara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945.

Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Tugas dan wewenang

Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar
MPR berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah beserta alasannya.
Usul pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR untuk membahas kelengkapan persyaratan.

Jika usul pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.

Sidang paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.

Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum

MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Sebelum reformasi, MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan suara terbanyak, namun sejak reformasi bergulir, kewenangan itu dicabut sendiri oleh MPR. Perubahan kewenangan tersebut diputuskan dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 09 November 2001, yang memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, Pasal 6A ayat (1).

Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR.

MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usul. Usul DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keputusan MPR terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir.

Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden

Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya.

Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat,Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

Memilih Wakil Presiden

Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.

Keanggotaan

MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Sebelum reformasi, MPR terdiri atas anggota DPR, utusan daerah, dan utusan golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD. Masa jabatan anggota MPR adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Anggota MPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Anggota MPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama, mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan MPR.

Hak dan kewajiban anggota

Hak anggota
- Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
- Memilih dan dipilih.
- Membela diri.
- Imunitas.
- Protokoler.
- Keuangan dan administratif.

Kewajiban anggota
- Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila.
- Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan.
- Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
- Melaksanakan peranan sebagai wakil rakyat dan wakil daerah.

Fraksi dan kelompok anggota

Fraksi

Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Pengaturan internal fraksi sepenuhnya menjadi urusan fraksi masing-masing.

Kelompok anggota

Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. Pengaturan internal Kelompok Anggota sepenuhnya menjadi urusan Kelompok Anggota.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan MPR terdiri atas; Pimpinan dan Panitia Ad Hoc.

Pimpinan

Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.

Panitia Ad Hoc

Panitia ad hoc MPR terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR.

Sidang

MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara.
Sidang MPR sah apabila dihadiri:
- sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah Anggota MPR untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari jumlah Anggota MPR sidang-sidang lainnya
Putusan MPR sah apabila disetujui:
- sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anggota MPR yang hadir untuk memutus usul DPR untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden
- sekurang-kurangnya 50%+1 dari seluruh jumlah Anggota MPR untuk memutus perkara lainnya.
Sebelum mengambil putusan dengan suara yang terbanyak, terlebih dahulu diupayakan pengambilan putusan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.


Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

DPD memiliki fungsi:
Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu.

Anggota DPD dari setiap provinsi adalah 4 orang. Dengan demikian jumlah anggota DPD saat ini adalah 132 orang. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 tahun, dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

Sejarah

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen.

Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.

Keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagsan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS.

Tugas, wewenang, dan hak

Tugas dan wewenang DPD antara lain:
Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU tersebut.

Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan.
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.

Anggota DPD juga memiliki hak menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.

Alat kelengkapan

Alat kelengkapan DPD terdiri atas: Pimpinan, Komite, Badan Kehormatan dan Panitia-panitia lain yang diperlukan.

Pimpinan

Pimpinan DPD terdiri atas seorang ketua dan dua wakil ketua. Selain bertugas memimpin sidang, pimpinan DPD juga sebagai juru bicara DPD. Ketua DPD periode 2009–2014 adalah Irman Gusman.

Pimpinan DPD periode 2009–2014 adalah:
Ketua: Irman Gusman (Sumatera Barat)
Wakil Ketua: Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta)
Wakil Ketua: La Ode Ida (Sulawesi Tenggara)

Sekretariat Jenderal

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPD, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, dan personelnya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Jenderal DPD dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden atas usul Pimpinan DPD.

Kekebalan hukum

Anggota DPD tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan/pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat DPD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga. Ketentuan tersebut tidak berlaku jika anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal mengenai pengumuman rahasia negara.

Daftar Anggota Dewan Pimpinan Daerah 2009-2014
1. Aceh: Abdurrahman B, Bachrum Manyak, Ahmad Farhan Hamid, Mursyid
2. Sumatra Utara: Rudolf M. Pardede, Parlindungan purba, Rahamat Shah, Darmayanti lubis
3. Sumatra Barat: Irman Gusman, Emma Yohanna, Riza Falepi, Alirman Sori
4. Riau: Abdul Gafar Usman, Intsiawati Ayus, Maimanah Umar, Muhammad Gazali
5. Kepulauan Riau: Aida Nasution Ismeth, Zulbahri M., Djasarmen Purba, Hardi Selamat Hood
6. Jambi: Elviana, M. Syukur, Juniwati T. Masjchun Sofwan, Hasbi Anshory
7. Bengkulu: Sultan Bakhtiar Najamudin, Eni Khairani, Bambang Suroso, Mahyuni Shobri
8. Sumatra Selatan: Percha Leanpuri, Aidil Fitrisyah, Asmawati, Abdul Aziz
9. Bangka Belitung: Tellie Gozelie, Noorhari Astuti, Rosman Djohan, Bahar Buasan
10. Lampung: Anang Prihantoro, Ahmad Jajuli, Aryodia Febriansya, Iswandi
11. DKI Jakarta: Dani Anwar, A.M. Fatwa, Djan Faridz, Pardi
12. Banten: Andika Hazrumy, Abdurachman, Abdi Sumaithi, Ahmad Subadri
13. Jawa Barat: Ginandjar Kartasasmita, Ella M. Giri Komala R., Sofyan Yahya, Amang Syafrudin
14. Jawa Tengah: Sulistiyo, Ayu Kus Indriyah, Denty Eka Widi Pratiwi, Poppy Susanti Dharsono
15. Daerah Istimewa, Yogyakarta: Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Cholid Mahmud, A. Hafidh Asrom, Muhammad Afnan Hadikusumo
16. Jawa Timur: Istibsjaroh, Wasis Siswoyo, Abdul Sudarsono, Supratono
17. Bali: I GN Kesuma Kelakan, I Nengah Wiratha, I Wayan Sudirta, I Kadek Arimbawa
18. Nusa Tenggara Barat: Farouk Muhammad, Abdul Muhyi Abidin, Baiq Diyah Ratu Ganefi, Lalu Supardan
19. Nusa Tenggara Timur: Abraham Liyanto, Emanuel Babu Eha, Carolina Nubatonis Kondo, Sarah Lery Mbuik
20. Kalimantan Selatan: Gusti Farid Hasan Aman, Adhariani, Habib Hamid Abdullah, Mohammad Sofwat Hadi
21. Kalimantan Tengah: Pernama Sari, Hamdhani, Said Akhmad Fawzy Zain Bahsin, Rugas Binti
22. Kalimantan Barat: Maria Goreti, Sri Kadarwati, Hairiah, Erma Suryani Ranik
23. Kalimantan Timur: Awang Ferdian Hidayat, Luther Kombong, Muslihuddin Abdurrasyid, Bambang Susilo
24. Sulawesi Selatan: Abdul Azis Qahhar Mudzakkar, Muhammad Aksa Mahmud, Bahar Ngitung, Litha Brent
25. Sulawesi Utara: Aryanthi Baramuli Putri, Marhany Victor Poly Pua, Ferry F X Tinggogoy, Alvius Lomban
26. Sulawesi Tenggara: La Ode Ida, Abdul Jabbar Toba, Abidin Mustafa, Husein Effendy
27. Gorontalo: Hana Hasan Fadel Muhammad, Rahmiyati Jahja, Elnino M Husein Mohi, Budi Doku
28. Sulawesi Tengah: Nurmawati Dewi Bantilan, Sudarto H, Ahmad Syaifullah Malonda, Shaleh Muhammad Aldjufri
29. Sulawesi Barat: Muhammad Asri, Muhammad Syibli Sahabuddin, Iskandar Muda Baharuddin Lopa, Mulyana Isham
30. Maluku: Anna Latuconsina, Jhon Peiris, Jacob Jack Ospara, Etha Aisyah Hentihu
31. Maluku Utara: Matheus Stefi Pasimanjeku, Kemala Motik Gafur, Mudaffar Syah, Abdurachman Lahabato
32. Papua: Tonny Tesar, Herlina Murib, Paulus Yohanes Sumino, Ferdinanda W Ibo Yatipay
33. Papua Barat: Ishak Mandacan, Sofia Maipauw, Mervin Sadipun Komber, Wahidin Ismail
Pengertian Akuntansi


Secara umum
Akuntansi adalah sistem informasi yang memberikan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai kegiatan ekonomi dan kondisi perusahaan


Sebagai proses
Proses pencatatan, penggolongan, peringkasan transaksi keuangan dan penginterpretasian hasil proses tersebut.
               
Transaksi Keuangan

Transaksi Eksternal
Transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan pihak luar
ex.Penjualan barang, pelunasan utang


Transaksi internal
Transaksi yang terjadi dalam unit perusahaan
ex.kegiatan produksi


Transaksi Operasi
berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam rangka menciptakan pendapatan


Transaksi Modal
semua transaksi yang berkaitan dengan pemerolehan dana untuk membiayai kegiatan


Transaksi Keuangan


Transaksi Eksternal
Transaksi yang terjadi antara perusahaan dengan pihak luar
ex.Penjualan barang, pelunasan utang


Transaksi internal
Transaksi yang terjadi dalam unit perusahaan
ex.kegiatan produksi


Transaksi Operasi
berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam rangka menciptakan pendapatan


Transaksi Modal
semua transaksi yang berkaitan dengan pemerolehan dana untuk membiayai kegiatan


Pemakai Laporan Keuangan
  • Eksternal
  • investor/pemilik
  • kreditor
  • kustomer/pelanggan
  • pemasok
  • pemerintah
  • lembaga pendidikan
  • masyarakat umum
  • Internal
  • manajemen puncak
  • manajer divisi
  • staf akuntansi
  • karyawan
Pihak Berkepentingan
Eksternal
berkepentingan dengan
  • Kinerja keuangan secara keseluruhan
  • likuiditas
  • solvensi
  • profitabilitas
  • pertanggungjawaban keuangan
Internal
berkepentingan dengan
  • perencanaan
  • pengkoordinasian
  • pengarahan
  • pengevaluasian kinerja internal
  • pengendalian
Arti Penting
Tujuan Pelaporan Keuangan
  • Investor dan kreditor dianggap pihak yang dominan dan menjadi fokus yang dituju dalam laporan keuangan sebagai dasar keputusan investasi dan pemberian kredit
Tujuan Pelaporan Keuangan
  • Posisi keuangan perusahaan (likuiditas dan solvensi)
  • Kemampuan perusahaan menghasilkan laba (earning power)
  • Kemampuan perusahaan mendatangkan aliran kas (cash flow)
  • Prestasi manajemen dalam mengelola sumber ekonomik
  • Pertanggungjawaban manajemen (interpretasi, penjelasan dan rencana manajemen)
Pengertian Perusahaan
  • Secara ekonomik, perusahaan diartikan sebagai kegiatan memproduksi barang dan jasa
  • Berdasarkan kegiatan produksi dan produk yang dihasilkan, ada 3 jenis perusahaan
  1. Perusahaan jasa menghasilkan jasa dan bukan produk untuk pelanggan
  2. Perusahaan dagang bergerak dalam bidang pembelian dan penjualan barang tanpa pengolahan lebih lanjut
  3. Perusahaan manufaktur bergerak dalam bidang konversi bahan baku menjadi produk jadi melalui proses produksi
Jenis kegiatan penyediaan jasa
  • Komunikasi
  • Hiburan/rekreasi
  • Tempat tinggal
  • Keahlian perorangan
  • Pertanggungan
  • Reparasi/pemeliharaan
  • Hidangan
  • Transportasi
  • Persewaan
  • Jasa profesional
  • Jasa khusus
  • Pelatihan/keterampilan
  • Keuangan dan pendanaan
Kegiatan Perdagangan meliputi: 
  • Pembelian
  • Pemasaran
  • Penganekaragaman
  • Pendanaan bagi konsumer
  • Penyimpanan
  • Penyortiran
  • Penseleksian kualitas
  • Pengangkutan
  • Penyediaan informasi pasar
Bidang Manufaktur
  • Ekstraksi
  • Pengilangan
  • Perakitan
  • Kerajinan
  • Kerajinan
  • Perkebunan
  • Peternakan
  • Farmasi
Siklus Akuntansi














Laporan Keuangan
  • Neraca (balance sheet)
  • Statemen laba-rugi (income statement)
  • Statemen perubahan modal (statement of chages in owners’ equities)
  • Statemen aliran kas (statement of cash flows)
  • Penjelasan statemen keuangan (notes to fincancial statements)
  • Informasi pelengkap (supplemenary information)
Kebutuhan Informasi dan Laporan yang mendukung:




Seperangkat Laporan Keuangan memuat
  • Aset (assets)
  • Utang (liabilities)
  • Ekuitas (equity)
  • Setoran/investasi dari pemilik (investments by owners)
  • Distribusi ke pemilik (distributions to owners)
  • Pendapatan (revenues)
  • Biaya (expenses)
  • Untung (gains)
  • Rugi (losses)
  • Laba (comprehensive or net income)
Ditambah:
  • Aliran kas operasi (cash flows from operation)
  • Aliran kas investasi (cash flows from investment)
  • Aliran kas pendanaan (cash flows from financing)
Aktiva (assets):
  • Suatu manfaat ekonomi masa datang
  • Dikuasai oleh perusahaan
  • Timbul akibat telah terjadinya suatu transaksi
Kewajiban (liabilities):
  • Pengorbanan manfaat ekonomi masa datang
  • Menjadi kewajiban pada saat pelaporan
  • Timbul akibat telah terjadinya suatu transaksi
Ekuitas (equity):
  • Dari sudut pemilik:
  • Hak residual pemilik atas aset setelah dikurangi semua kewajiban.
Dari sudut perusahaan:
  • “Utang” perusahaan kepada pemilik yang dipandang sebagai pihak luar.
Ekuitas biasa disebut dengan modal.
  • Investasi dari pemilik (investments by owners):
Kenaikan ekuitas akibat setoran sumber ekonomik ke perusahaan oleh pemilik.
  • Distribusi ke pemilik (distributions to owners):
Penurunan ekuitas akibat transfer aset dari perusahaan kepada pemilik.
Dari sudut perusahaan, transfer ini dapat dipandang sebagai semacam pelunasan “utang” kepada pemilik.
Dalam perusahaan perseorangan, distribusi ini disebut dengan prive atau pengambilan.
  • Pendapatan (revenues):
Aliran masuk sumber ekonomi (kas atau aset lainnya) ke dalam perusahaan atau kenaikan aset yang berasal dari penyerahan barang atau jasa sebagai kegiatan utama atau sentral perusahaan.
    Penyerahan barang atau jasa pada umumnya terjadi karena transaksi penjualan.
  • Biaya (expenses):
Aliran keluar sumber ekonomi (kas atau aset lainnya) dari perusahaan atau timbulnya kewajiban akibat penyerahan barang atau jasa sebagai kegiatan utama atau sentral perusahaan.
    Keluarnya barang dagangan akibat penjualan merupakan biaya.

  • .Laba (net atau comprehensive income):

Jumlah rupiah bersih yang didapat oleh perusahaan setelah semua pendapatan dan untung dikurangi dengan semua biaya dan rugi.
         Earnings
         Laba yang diakumulasi selama beberapa perioda yang menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dalam jangka panjang

Persamaan Akuntansi

Aktiva   =  Utang  +  Modal

Elemen Laporan Keuangan:


Neraca: menggambarkan posisi keuangan suatu organisasi pada saat tertentu




Elemen Laporan Keuangan :





























Jurnal
  • Mencatat transaksi ke buku jurnal secara kronologis
  • Mencatat jumlah rupiah dari jurnal ke buku besar disebut dengan pengakunan (posting).
Persamaan Buku Besar


Kumpulan akun-akun yang berfungsi sama sebagai elemen statemen tertentu disebut dengan buku besar (ledger).