Koori Nagawa Network. Powered by Blogger.

Koori Nagawa Network



HAKIKAT KEPEMIMPINAN

Dalam kehidupan sehari – hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan. Ketiga kata tersebut memang memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan lainnya.
Beberapa ahli berpandapat tentang Pemimpin, beberapa diantaranya :

•Menurut Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan.

•Menurut Robert Tanembaum, Pemimpin adalah mereka yang menggunakan wewenang formal untuk mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol para bawahan yang bertanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaan dikoordinasi demi mencapai tujuan perusahaan.

•Menurut Prof. Maccoby, Pemimpin pertama-tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religius, dalam artian menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide ketuhanan yang berlainan.

•Menurut Lao Tzu, Pemimpin yang baik adalah seorang yang membantu mengembangkan orang lain, sehingga akhirnya mereka tidak lagi memerlukan pemimpinnya itu.

•Menurut Davis and Filley, Pemimpin adalah seseorang yang menduduki suatu posisi manajemen atau seseorang yang melakukan suatu pekerjaan memimpin.

•Sedangakn menurut Pancasila, Pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang mendorong, menuntun, dan membimbing asuhannya. Dengan kata lain, beberapa asas utama dari kepemimpinan Pancasila adalah :
Ing Ngarsa Sung Tuladha : Pemimpin harus mampu dengan sifat dan perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan bagi orang – orang yang dipimpinnya.

Ing Madya Mangun Karsa : Pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang – orang yang dibimbingnya.

Tut Wuri Handayani : Pemimpin harus mampu mendorong orang – orang yang diasuhnya berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.

Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi itu tidak memadai apabila ia tidak berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Dari begitu banyak definisi mengenai pemimpin, dapat penulis simpulkan bahwa : Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain.

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan pap yang diinginkan pihak lainnya.”The art of influencing and directing meaninsuch away to abatain their willing obedience, confidence, respect, and loyal cooperation in order to accomplish the mission”. Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhidan menggerakkan orang – orang sedemikian rupa untuk memperoleh kepatuhan, kepercayaan, respek, dan kerjasama secara royal untuk menyelesaikan tugas – Field Manual 22-100.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mau melakukan apa yang diinginkan pihak lainnya. Ketiga kata yaitu pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan yang dijelaskan sebelumnya tersebut memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.

Fungsi pemimpin dalam suatu organisasi tidak dapat dibantah merupakan sesuatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan. Pada dasarnya fungsi kepemimpinan memiliki 2 aspek yaitu :
- Fungsi administrasi, yakni mengadakan formulasi kebijaksanakan administrasi dan menyediakan fasilitasnya.
- Fungsi sebagai Top Mnajemen, yakni mengadakan planning, organizing, staffing, directing, commanding, controling, dsb.

TEORI KEPEMIMPINAN

Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan. Dalam karya tulis ini akan dibahas tentang teori dan gaya kepemimpinan.

Seorang pemimpin harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan sebuah organisasi. Beberapa teori tentang kepemimpinan antara lain :

Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )

Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.

Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :

Kecerdasan
Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata – rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.

Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial
Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.

Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi
Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.

Sikap Hubungan Kemanusiaan
Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya

Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi

Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal.

Pertama yang disebut dengan Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.

Kedua disebut Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.
Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.

Teori Kewibawaan Pemimpin
Kewibawaan merupakan faktor penting dalam kehidupan kepemimpinan, sebab dengan faktor itu seorang pemimpin akan dapat mempengaruhi perilaku orang lain baik secara perorangan maupun kelompok sehingga orang tersebut bersedia untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh pemimpin.

Teori Kepemimpinan Situasi
Seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.

Teori Kelompok
Agar tujuan kelompok (organisasi) dapat tercapai, harus ada pertukaran yang positif antara pemimpin dengan pengikutnya.

Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda – beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

Selain gaya kepemimpinan di atas masih terdapat gaya lainnya.

Otokratis
Kepemimpinan seperti ini menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya. Kekuasaan sangat dominan digunakan. Memusatkan kekuasaan dan pengambilan keputusan bagi dirinya sendiri, dan menata situasi kerja yang rumit bagi pegawai sehingga mau melakukan apa saja yang diperintahkan. Kepemimpinan ini pada umumnya negatif, yang berdasarkan atas ancaman dan hukuman. Meskipun demikian, ada juga beberapa manfaatnya antaranya memungkinkan pengambilan keputusan dengan cepat serta memungkinkan pendayagunaan pegawai yang kurang kompeten.

Partisipasif
Lebih banyak mendesentrelisasikan wewenang yang dimilikinya sehingga keputusan yang diambil tidak bersifat sepihak.

Demokrasi
Ditandai adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Di bawah kepemimpinan pemimpin yang demokrasis cenderung bermoral tinggi dapat bekerjasama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri.

Kendali Bebas
Pemimpin memberikan kekuasaan penuh terhadap bawahan, struktur organisasi bersifat longgar dan pemimpin bersifat pasif. Yaitu Pemimpin menghindari kuasa dan tanggung – jawab, kemudian menggantungkannya kepada kelompok baik dalam menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri.

Dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang – orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.

Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi konsiderasi,tidak selamanya merupakan pemimpinyan terbaik.fiedler telah mengembakan suatumodel pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan diatas,yakni model kepemimpinankontigennis.model ini nyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja.dengan teorinya ini fiedler ingin menunjukkan bahwa keefektifan ditunjukkan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan 3 variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anngota ( Leader – member rolations), struktur tugas (task strukture), dan kuasa posisi pemimpin (Leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.

Model kontingensi Fieldler ini serupa dengan gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard. Konsepsi kepemimpinan situasional ini melengkapi pemimpin dengan pemahaman dari hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kematangan (muturity) pengikutnya.perilaku pengikut atau bawahan ini amat penting untuk mengetahui kepemimpinan situasional, karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa menerima atau menolak pemimpinnya, akan tetapi sebagai kelompok , pengikut dapat menemukan kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.

Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton,1996 : 18 dst), masing – masing gaya kepemimpinan ini hanya memadai dalm situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.
Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat gaya kepemimpinan seseorang. Salah satunya yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Blanchard, yang mengemukakan 4 gaya dari sebuah kepemimpinan. Gaya kepemimpinan ini dipengaruhi oleh bagaimana cara seorang pemimpin memberikan perintah, dan sisi lain adalah cara mereka membantu bawahannya. Keempat gaya tersebut adalah

Directing
Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan. Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.

Coaching
Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.

Supporting
Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik – teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita perlumeluangkan waktu untuk berbincang – bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran – saran mereka mengenai peningkatan kinerja.

Delegating
Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.

Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang – orang yang dipimpinnya.
Ditengah – tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda – beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional lesdership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :

Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.

Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.

Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.

Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).
Peran pertama meliputi :
Peran Figurehead Sebagai simbol dari organisasi
Leader Berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya
Leaison Menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi.

Sedangkan peran kedua terdiri dari 3 peran juga yakni :
Monitior Memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan.
Disseminator Menyampaikan informasi, nilai – nilai baru dan fakta kepada bawahan.
Spokeman Juru bicara atau memberikan informasi kepada orang – orang di luar organisasinya.

Peran ketiga terdiri dari 4 peran yaitu :
Enterpreneur Mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi.
Disturbance Handler Mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menurun.
Resources Allocator Mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadwalan, memprogram tugas – tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan.
Negotiator Melakukan perundingan dan tawar – menawar.

Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan ( 1996 : 156 ) mengemukakan 3 macam peran pemimpin yang disebut dengan 3A, yakni :
Alighting Menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya.
Aligning Menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju ke arah yang sama.
Allowing Memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara kerja mereka.
Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin.

Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.

KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI

Merenungkan kembali arti makna kepemimpinan, sering diartikan kepemimpinan adalah jabatan formal, yang menuntut untuk mendapat fasilitas dan pelayanan dari konstituen yang seharusnya dilayani. Meskipun banyak di antara pemimpin yang ketika dilantik mengatakan bahwa jabatan adalah sebuah amanah, namun dalam kenyataannya sedikit sekali atau bisa dikatakan hampir tidak ada pemimpin yang sungguh – sungguh menerapkan kepemimpinan dari hati, yaitu kepemimpinan yang melayani.

A. Karakter Kepemimpinan

Hati Yang Melayani
Kepemimpianan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam dan kemudian bergerak keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin yang diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Kembali kita saksikan betapa banyak pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya.

Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan – kawan, ada sejumlah ciri –ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani,yaitu tujuan utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongan tapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelomponya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang – orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.

Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian da harapan dari mereka yang dipimpinnya.

Seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas ( accountable ). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan,pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada public atau kepada setiap anggota organisasinya.

Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpin. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikam ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan public atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat,selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.

B. Metode Kepemimpinan

Kepala Yang Melayani
Seorang pemimpin tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tapi juga harus memiliki serangkaian metode kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas sari aspek yang pertama yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika menjadi pimpinan formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki metode kepemimpinan yang baik. Contoh adalah para pemimpin yang diperlukan untuk mengelola mereka yang dipimpinnya.

Tidak banyak pemimpin yang memiliki metode kepemimpinan ini. Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah – sekolah formal. Keterampilan seperti ini disebut dengan Softskill atau Personalskill. Dalam salah satu artikel di economist.com ada sebuah ulasan berjudul Can Leadership Be Taught, dibahas bahwa kepemimpinan (dalam hal ini metode kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang memiliki karakter kepemimpinan. Ada 3 hal penting dalam metode kepemimpinan, yaitu :

Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas. Visi ini merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang – orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang – orang atau organisasi yang dipimpin menuju suatu tujuan yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bias bertahan sampai beberapa generasi. Ada 2 aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role. Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi bagi organisasinya tapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tsb ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi itu.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan, dan impian dari mereka yang dipimpin. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi.

Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang – orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemempuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dsb), melakukan kegiatan sehari – hari seperti monitoring dan pengendalian, serta mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.

C. Perilaku Kepemimpinan

Tangan Yang Melayani
Pemimpin yang melayani bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan metode kepemimpinan, tapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard disebutka perilaku seorang pemimpin, yaitu :
Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpin, tapi sungguh – sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk memuaskan Tuhan. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan firman Tuhan. Dia memiliki misi untuk senantiasa memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan, dan diperbuatnya.

Pemimpin focus pada hal – hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tapi melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata.

Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek , baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dsb. Setiap harinya senantiasa menyelaraskan (recalibrating ) dirinya terhadap komitmen untuk melayani Tuhan dan sesame. Melalui solitude (keheningan), prayer (doa), dan scripture (membaca Firman Tuhan ).

Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard yang sangat relevan dengan situasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Bahkan menurut Danah Zohar, penulis buku Spiritual Intelligence: SQ the Ultimate Intelligence, salah satu tolak ukur kecerdasan spiritual adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendrick dan Kate Luderman, menunjukkan pemimpin – pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan biasanya adalah pemimpin yang memiliki SQ yang tinggi. Mereka biasanya adalah orang –orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami spiritualitas yang tinggi, dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.

KEPEMIMPINAN SEJATI

Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau tranformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out ).

Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan pekerjaan, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. ” I don’t think you have to be waering stars on your shoulders or a title to be leadar. Anybody who want to raise his hand can be a leader any time”,dikatakan dengan lugas oleh General Ronal Fogleman,Jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat yang artinya Saya tidak berpikir anda menggunakan bintang di bahu anda atau sebuah gelar pemimpin. Orang lainnya yang ingin mengangkat tangan dapat menjadi pemimpin di lain waktu.

Sering kali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dam maximizer.

Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor & praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).

Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis menjadi negara yang demokratis dan merdeka.Selama penderitaan 27 tahun penjara pemerintah Apartheid, justru melahirkan perubahan dalam diri Beliau. Sehingga Beliau menjadi manusia yang rendah hati dan mau memaafkan mereka yang telah membuatnya menderita selam bertahun – tahun.

Seperti yang dikatakan oleh penulis buku terkenal, Kenneth Blanchard, bahwa kepemimpinan dimulai dari dalam hati dan keluar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Perubahan karakter adalah segala – galanya bagi seorang pemimpin sejati. Tanpa perubahan dari dalam, tanpa kedamaian diri, tanpa kerendahan hati, tanpa adanya integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, dan visi serta misi yang jelas, seseorang tidak akan pernah menjadi pemimpin sejati.
Sebuah jenis kepemimpinan yaitu Q Leader memiliki 4 makna terkait dengan kepemimpinan sejati, yaitu :

Q berarti kecerdasan atau intelligence. Seperti dalam IQ berarti kecerdasan intelektual,EQ berarti kecerdasan emosional, dan SQ berarti kecerdasan spiritual. Q leader berarti seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan IQ,EQ,SQ yang cukup tinggi.

Q leader berarti kepemimpinan yang memiliki kualitas(quality), baik dari aspek visioner maupun aspek manajerial.

Q leader berarti seorang pemimpin yang memiliki qi ( dibaca ‘chi’ dalam bahasa Mandarin yang berarti kehidupan).

Q keempat adalah qolbu atau inner self. Seorang pemimpin sejati adalah seseorang yang sungguh – sungguh mengenali dirinya (qolbunya) dan dapat mengelola dan mengendalikannya (self management atau qolbu management).

Menjadi seorang pemimpin Q berarti menjadi seorang pemimpin yang selalu belajar dan bertumbuh senantiasa untuk mencapai tingkat atau kadar Q (intelligence-quality-qi-qolbu) yang lebih tinggi dalam upaya pencapaian misi dan tujuan organisasi maupun pencapaian makna kehidupan setiap pribadi seorang pemimpin.

Rangkuman kepemimpinan Q dalam 3 aspek penting yang disingkat menajadi 3C, yaitu :
•Perubahan karakter dari dalam diri (character chage).
•Visi yang jelas (clear vision).
•Kemampuan atau kompetensi yang tinggi (competence).

Ketiga hal tersebut dilandasi oleh suatu sikap disiplin yang tinggi untuk senantiasa bertumbuh, belajar dan berkembang baik secara internal (pengembangan kemampuan intrapersonal, kemampuan teknis, pengatahuan,dll) maupun dalam hubungannya dengan orang lain (pengembangan kemampuan interpersonal dan metode kepemimpinan). Seperti yang dikatakan oleh John Maxwell, ” The only way that I can keep leading is to keep growing. The the day I stop growing, somebody else takes the leadership baton. That is way it always it.” Satu-satunya cara agar saya tetap menjadi pemimpin adalah saya harus senantiasa bertumbuh. Ketika saya berhenti bertumbuh, orang lain akan mengambil alih kepemimpinan tsb.

PENGERTIAN AUDITING

Konrath(2002:…) mendefinisikan auditing sebagai “ suatu objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk menyakinkan tingkat keterkaitan antara asersi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Alvin A. Arens, Mark S. Beaslev, 2003, hal 11, Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person

Menurut Sukrisno Agoes, Auditing adalah : “ Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.

Beberapa hal penting dari definisi di atas :
1. Yang diperiksa adalah laporan keuangan yang disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya.
Laporan keuangan yang harus diperiksa terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal dan laporan arus kas. Catatan pembukuan terdiri dari buku harian, buku besar, dan buku pembantu. Bukti pendukung antara lain bukti penerimaan kas dan pengeluaran kas, faktur penjualan, jurnal voucher dan lain-lain. Dokumen lain yang perlu diperiksa antara lain notulen rapat direksi dan pemegang saham, akte pendirian, kontrak, perjanjian kredit dan lain-lain.

2. Pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis.
Dalam melakukan pemeriksaan, akuntan publik berpedoman pada SPAP (di Amerika GAAS).
Agar pemeriksaan dapat dilakukan secara kritis, pemeriksaan harus dipimpin oleh seorang yang bergelar akuntan dan mempunyai ijin praktek sebagai akuntan publik dari Menteri Keuangan. Pelaksana pemeriksaan harus berpendidikan, berpengalaman dan berkeahlian di bidang akuntansi, perpajakan, sistem akuntansi dan pemeriksaan akuntansi.

Agar pemeriksaan dapat dilakukan secara sistematis, akuntan publik harus merencanakan pemeriksaannya sebelum proses pemeriksaan dimulai dengan membuat AUDIT PLAN yang memuat kapan pemeriksaan dimulai, berapa lama, kapan laporan harus selesai, berapa orang staf yang ditugaskan, masalah-masalah yang diperkirakan akan dihadapi di bidang auditing, akuntansi dan perpajakan.

3. Pemeriksaan dilakukan oleh pihak yang independen, yaitu akuntan publik.
Independen berarti tidak mempunyai kepentingan tertentu di perusahaan tersebut (Misal sebagai pemegang saham, direksi) atau mempunyai hubungan khusus (Misal keluarga dari pemegang saham, direksi).

Akuntan publik harus independen karena sebagai orang kepercayaan masyarakat, harus bekerja secara objektif, tidak memihak dan melaporkan apa adanya.
4. Tujuan pemeriksaan akuntan adalah untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa.
Laporan keuangan yang wajar adalah yang disusun berdasarkan PABU (di Indonesia: SAK, di Amerika: GAAP), diterapkan secara konsisten, dan tidak mengandung kesalahan yang material.
Akuntan publik tidak menyatakan bahwa laporan keuangan tersebut benar, karena pemeriksaannya dilakukan secara sampling, sehingga mungkin saja terdapat kesalahan dalam laporan keuangan tetapi jumlahnya tidak material sehingga tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Oleh : Hermanto Rohman

Penganggaran Publik

Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang akan dicapai oleh suatu organisasi dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam ukuran moneter.Sedangkan penganggaran sendiri adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2004: 61). Pengertian tersebut mengungkap peran strategis anggaran dalam pengelolaan kekayaan sebuah organisasi publik. Dalam organisasi publik anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dengan uang publik. Atas dasar itulah maka pembicaraan tentang persoalan penganggaran akan terkait dengan keuangan negara dan juga akuntabilitas.

Terkait dengan Penyelenggaraan anggaran di daerah Pemerintah Indonesia telah melakukan reformasi manajemen keuangan negara baik pada pemerintah pusat maupun pada pemerintah daerah dengan ditetapkannya paket undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa Gubernur /Bupati /Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambanya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pertanggung jawaban tersebut dituangkan dalam Laporan Keuangan yang disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24 tahun 2005). Disamping Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya akuntabilitas serta transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Isu Akuntabilitas Penganggaran Daerah

Konsep Akuntabilitas mencakup eksistensi dari suatu mekanisme (baik secara konstitusional maupun keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan sumber-sumber publik dan kinerja perilakunya. Aplikasi akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Para penyelenggara pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat/publik (outwards accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi pemerintahan itu sendiri (downwards accountability), dan kepada atasan mereka(upwards accountability).

Berdasarkan substansinya, prinsip bertanggung jawaban mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistem dan prosedur tertentu (administrative accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability), akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability),akuntabilitas profesional seperti penggunaan metode dan teknik tertentu (professional accountability),dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila semua yang dikatakan di atas dapat terpenuhi, maka akan tumbuh kepercayaan kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang ada.

Terkait dengan artikel masalah akuntabilitas anggaran publik di daerah sebagaimana yang disampaikan Wahyudi Kumorotomo, terdapat beberapa isu strategis berkenaan dengan akuntabilitas :
Kaitannya dengan administrative accountability dan professional accoutability isu pokok yang muncul adalah buruknya kinerja pengelolaan anggaran daerah. Kenyataan tersebut secara gamblang bisa kita ketahui dari makin sedikitnya laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tahun 2009 jumlahnya hanya delapan daerah dari 164 LKPD yang dilaporkan. Padahal, pada 2004 lalu jumlah laporan keuangan daerah yang mendapatkan opini terbaik berjumlah 21 buah. Pada 2005 turun menjadi 17 daerah, bahkan sejak 2006 merosot tajam menjadi kurang dari 10 daerah. ( Media Indonesia, 14 Agustus 2009)

Kaitannya dengan legal accountability dan Political accountability, isu pokok yang menunjukkan buruknya akuntabilitas itu bisa dilihat dengan banyaknya kasus korupsi yang terjadi di daerah berawal dari penyelewengan dana di daerah. Berdasarkan temuan KPK, terdapat imbalan yang didapat dari penyimpanan dana milik pemerintah daerah pada suatu bank tidak masuk ke kas daerah, tapi masuk kantong pribadi (Media Indonesia, 14 Agustus 2009). Selain itu juga banyak terjadi kasus penyimpangan anggaran daerah karena tidak memahami ketentuan / dasar hukumnya misalnya dalam pengadaan barang dan jasa. Sedangkan terkait political accoutabilitymestinya legislatif mempunyai peran untuk kontrol terhadap penggunaan anggaran daerah, namun yang terjadi justru sebaliknya banyak terjadi dugaan pemufakatan antara eksekutif dengan legislatif untuk melakukan korupsi terhadap anggaran tersebut demi kepentingan parpol saat pemilu (contoh Kasus Korupsi P2SEM di Jatim), serta juga masuk ke bupati incumbent untuk kepentingan kemenangan pilkada periode selanjutnya.

Kaitannya dengan ethical accountability, pengalaman juga menampakkan bahwa buruknya kinerja akuntabilitas hal itu bisa dilihat banyaknya dana yang tidak terserap dengan nilai SILPA rata-rata tinggi di daerah belum lagi banyak PEMDA yang kemudian menyimpan dananya dalam SBI dari pada untuk merealisasikannya bagi masyarakat. Persoalan lain juga adalah banya alokasi anggaran daerah yang di peruntukkan bagi belanja aparatur dari pada belanja langsung untuk rakyat.
Berdasarkan uraian diatas secara umum, akuntabilitas akan rendah jika tidak ada pengecekan eksternal pada eksekutif dan pengendalian yang dilakukan oleh eksekutif secara administrasi lemah. Keberadaan akuntabilitas tergantung pada banyak faktor, beberapa bersifat sangat penting, misalnya kekuasaan institusional legislatif, keberadaan anggota yang cocok, baik dalam pemberian informasi maupun sanksi, pengambilan peran oleh legislator, serta kejujuran dan kepercayaan. Akuntabilitas berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam proses penganggaran oleh legislatif dan keberadaan pengendalian eksternal yang berada di bawah keleluasaan legislatif dalam pajak dan pembelanjaan. Adalah mungkin memahami akuntabilitas sebagai prosedur informal, tapi biasanya secara kuat berhubungan dengan pengendalian administratif.

Desentralisasi Fiskal Mampukah Memakmurkan Rakyat?

Desentralisasi Fiskal adalah adalah transfer kewenangan di area tanggung jawab finansial dan pembuatan keputusan termasuk memenuhi keuangan sendiri, ekspansi pendapatan lokal, transfer pendapatan pajak dan otorisasi untuk meminjam dan memobilisasi sumber-sumber pemerintah daerah melalui jaminan peminjaman (Litvac dan Seddon, 1998: 3) dalam Sait Abdullah (2005:64)). Pada kenyataannya, isu yang berkembang dan menarik dalam kajian desentralisasi fiskal adalah pemberian tanggung jawab fiskal yang lebih jelas pada tingkatan pemerintahan yang tepat. Tanggung jawab ini, mencakup mulai dari merancang hingga menerapkan beragam aspek yang terkait dalam hubungan keuangan intrapemerintahan.

Bila mengacu pemahaman tersebut mestinya yang terjadi dari penerapan desentralisasi fiskal adalah daerah mempunyai banyak keleluasaan untuk menentukan pengelolaan penerimaan. Keleluasaan itu diantaranya, yaitu keleluasan terkait jenis pengeluaran apa yang harus dilakukan oleh suatu tingkatan pemerintahan tertentu ? (expenditure assignment); jenis penerimaan apa yang harus dipungut dan berapa tarif pajak yang harus dibuat oleh tingkatan pemerintahan tertentu ? (revenue assignment); bagaimana seharusnya bantuan intrapemerintahan dan bagi hasil harus digunakan untuk mengatasi kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan di tingkat pemerintahan daerah dan dapat memberikan insentif yang tepat bagi daerah ?; Tingkatan pemerintahan yang mana yang tepat untuk membiayai pengeluarannya melalui pinjaman yang berasal dari dalam atau luar negeri, swasta, atau publik ?. Keleluasaan-keluasaan tersebut apabila dapat berjalan mestinya akan berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, namun yang terjadi pemanfaatan keleluasaan tersebut ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pelayanan dari masyrakat.

Pertanyaannya kemudian mengapa peningkatan kulaitas layanan dan kesejahteraan masyarakat tidak terjadi?. Seperti di jelaskan diawal bahwa pengelolaan Keuangan Negara sebagai kegiatan (pemerintah) di dalam mencari sumber-sumber dana (sources of fund), dan kemudian bagaimana dana tersebut digunakan (uses of fund), untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintah, dewasa ini akan terkait dengan isu akuntabilitas sebagaimana kajian good governance. Tuntutan untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan negara tersebut, membutuhkan komitmen, integritas, dan kompetensi manajerial dan teknis dalam penataan keuangan negara khususnya, serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.

Atas dasar asumsi itulah ketidak berhasilan desentralisasi fiskal adalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah merupakan akibat dari buruknya akuntabilitas dalam anggaran di daerah. Buruknya akuntabilitas dalam anggaran salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas pengelolaan keuangan negara yang meliputi :
1. Tersendat-sendatnya pengajuan anggaran;
2. Rendahnya daya serap anggaran;
3. Kelambatan melaporkan keuangan serta tidak sesuai standar akuntansi pemerintah;
4. Buruknya komunikasi politik antara Pemda dan DPRD menjadi penyebab keterlambatan penetapan anggaran;
5. Dana APBN menumpuk di rekening Bank Pemda, yang selanjutnya disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
6. Proses perencanaan di daerah juga masih lemah, sehingga program atau proyek tidak bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran;
7. Pelaksanaan anggaran buruk, kesejahteraan bangsa juga merosot.

Hal ini kemudian menjadikan kemiskinan dan pengangguran tetap besar meski anggaran selalu naik terus. Berdasarkan laporan hingga saat ini ketimpang anggaran pusat dan daerah masih sangat besar (70 persen berbanding 30 persen), dan seharusnya relatif berimbang. Sedangkan belanja aparatur di Provinsi ataupun Kabupaten/Kota saat ini sangat tinggi, mencapai 71 persen dan belanja public hanya 29 persen. Pembangunan tidak benar-benar berdampak langsung pada pemberantasan kemiskinan.

Problem Belanja Daerah

Dalam menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang bertanggung jawab salah satu isu strtegis adalah bagaimana pengelolaan angaran ini bisa dihindarkan dari kebocoran serta pemberosan dalam pembelanjaannya. Dalam masa reformasi telah dilakukan terobosan kebijakan dengan penciptaan dokumen anggaran induk APBN dan APBD yang berubah dari sistem T-account yang telah dipakai selama lebih dari tiga dasawarsa oleh pemerintah Orde Baru menjadi sistem I-account yang lebih terbuka, lugas dan menuntut pertanggung jawaban anggaran yang jelas serta diterapkannya sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) (Kumorotomo, 2008).

Menurut Mercer (2002) sebagaimana yang dikutip dalam Kumorotomo , anggaran kinerja adalah sistem yang menekankan keterkaitan antara pendanaan dengan hasil- hasil yang dicapai; A performance budget is an integrated annual performance plan and annual budget that shows the relationship between program funding levels and expected results. It indicates that a goal or a set of goals should be achieved at a given level of spending. Secara ideal, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan prestasi jajaran pemerintahan dalam penyelenggaraan kegiatan administrasi atau pelayanan publik. Bahkan dalam salah satu laporannya Bank Dunia mengatakan bahwa dengan menyertakan informasi yang jelas tentang kinerja pemerintah, anggaran kinerja akan dapat meningkatkan akuntabilitas publik dan meningkatkan kualitas pelayanan publik (World Bank, 2003).

Namun dalam kenyataannya mesti sistem ini di berlakukan persoalan dalam pembelanjaan anggaran cenderung terjadi pemborosan dan tidak berpihak pada masyarakat masih berjalan. Berdasarkan berita yang dimuat di koran harian Kompas Bandung, disebutkan bahwa telah terjadi banyak kebocoran pada RAPBD 2007 Kab. Bandung. Pernyataan tersebut dimulai dari temuan-temuan FDA (Forum Diskusi Anggaran) ketika menganalisis enam RKA (Rencana Kegiatan dan Anggaran) dari beberapa dinas sebagai sampel, yaitu Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Kesehatan, dan Dinas Permukiman dan Tata Wilayah. Pemborosan terjadi karena ketidaksesuaian dengan Permendagri No 26/2006 mengenai tata cara penyusunan APBD 2007 atau keputusan bupati mengenai standar harga. Dari 77 kegiatan Dinas Pendidikan ternyata sudah ditemukan pemborosan sebanyak Rp 81,5 miliar yang berasal dari penggelembungan accress (kebutuhan untuk mengantisipasi kenaikan gaji berkala, pangkat, tunjangan keluarga, dan penambahan jumlah pegawai karena mutasi) melebihi ketentuan, yaitu 17,5 persen dan harga satuan belanja barang. Ironisnya, masyarakat sering kali harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, dengan alasan keterbatasan anggaran. Sementara di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, FDA menyoroti rencana pembangunan Gedung Kesenian yang menghabiskan Rp 19 miliar, Rp 16 miliar untuk pembebasan lahan dan Rp 3 miliar untuk pembangunan gedung.

Hal ini menggambarkan bahwa anggaran yang disusun tidak menggambarkan kepentingan untuk bisa meningkatkan pelayanan pemerintahan serta potret dari kebutuhan masyarakat. Mengapa ini terjadi karena kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003; Ablo dan Reinikka, 1998).

Dalam konteks pengelolaan pembelanjaan keuangan daerah, pengalokasian belanja modal mestinya sangat berkaitan dengan perencanaan keuangan jangka panjang, terutama pembiayaan untuk pemeliharaan aset tetap yang dihasilkan dari belanja modal tersebut. Konsep multi-term expenditure framework (MTEF) menyatakan bahwa kebijakan belanja modal harus memperhatikan kemanfaatan (usefulness) dan kemampuan keuangan pemerintah daerah (budget capability) dalam pengelolaan aset tersebut dalam jangka panjang (Allen dan Tommasi, 2001).

Perbaikan Sistem Penganggaran Publik

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kinerja penganggaran daerah membutuhkan Akuntabilitas anggaran daerah yang baik. Sedangkan Akuntabilitas sejatinya adalah kunci dari konsep good governance yang merupakan bagaian kajian ilmu administrasi yang kini sedang menguat dalam geliat dan situasi dunia yang sedang mengglobal. Akuntabilitas menjunjung tinggi equitable danresponsivenes to people’s needs merupakan resultante dari proses dan prinsip-prinsip good governance (transparansi, efectivitas, efisiensi) serta globalisasi (demokrasi dan kompetisi). Terkait dengan good governance maka hal-hal yang perlu di lakukan sebagai strtategi perbaikan dalam penganggaran publik adalah :
Penekanan akuntabilitas pengeluaran negara adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan menggunakan uang publik, kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggung-jawaban tersebut (DPR dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer pemerintah adalah: a) Aspek legalitas pengeluaran negara yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; b) Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran negara yang baik, perlindungan aset fisik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Adapun prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran negara adalah: (1) Adanya sistem akuntansi dan sistem kemampuan negara yang dapat menjamin bahwa pengeluaran negara dilakukan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pengeluaran negara yag dilakukan dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; dan (3) Pengeluaran negara yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.

Value for Money dalam Pengeluaran negara harus berdasarkan konsep value of money, yaitu:
a) Ekonomi, adalah hubungan antara pasar (nilai uang) dan masukan (input). Ekonomi adalah praktek pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Sesuatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Oleh karena itu pada hakekatnya ada pengertian yang serupa antara efisiensi dengan ekonomi, karena kedua-duanya menghendaki penghapusan/penurunan biaya;
b) Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan terhadapinput yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisien apabila suatu target kinerja tertentu (outcome) dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendahrendahnya; dan
c) Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggungjawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintahan dapat diartikan penyelesaiannya kegiatan tepat pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang telah direncanakan.

Peningkatan pengetahuan dan kemampuan teknis bagi setiap aparat pemerintah, hal ini penting terutaama dalam proses penyusunan anggaran berbasis kinerja menjadi kebutuhan yang mendesak. Proses penyusunan anggaran berbasis kinerja merupakan alat bantu dalam menciptakan pelayanan publik yang efisien, efektif auditable, akuntabel, dan responsif.

Refrensi :
Abdul Hakim. 2006. Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
Ablo, Emmanuel & Ritva Reinikka. 1998. Do budget really matter? Evidence from public
spending on education and health care in Uganda. World Bank, Policy Research
Paper 1926
Allen, Richard & Daniel Tommasi. 2001. Managing Public Expenditure: A Reference Book
forTransition Countries. Paris: SIGMA-OECD
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political economy of public expenditures.
Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World
Bank.
Kumorotomo, Wahyudi & Erwan Agus Purwanto (eds.), Anggaran Berbasis Kinerja: Konsep
dan Aplikasinya, MAP Press, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 2005
Kumorotomo, Wahyudi,2008 ,Teknik Penganggaran Untuk Perencanaan Sosial, Materi ini
disampaikan pada Pelatihan Perencanaan Pembangunan Sosial-Budaya Provinsi Maluku Utara. Ternate, 14-21 Januari 2008.
Mardiasmo (2002), Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi Yogyakarta.
Mardiasmo, 2006, Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi
Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance, Jurnal Akuntansi Pemerintahan,
Vol. 2, No. 1, Mei 2006, Hal 1 – 17
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah