Koori Nagawa Network. Powered by Blogger.

Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

By |
1. Dampak Globalisasi dalam Bidang Ekonomi




Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L. Friedman dan beberapa tokoh lainnya, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi rival kapitalisme, telah meyakinkan sebagian kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasartelah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi, sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme maupun komunisme.

Namun, pandangan-pandangan dari kelompok ini tidak dapat memberi penjelasan yang cukup memadai mengenai semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Bahkan, seiring dengan globalisasi, pendapatan di negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang jauh lebih menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya, negara-negara industri maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh lebih tinggi. Ini karena globalisasi dengan liberalisasi dan perdagangan bebasnya, selain menawarkan suatu alternatifjalan yang lebih mudah untuk meningkatkan standar hidup dan efisiensi ekonomi, tetapi juga membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang atau kelompok yang sering disebut sebagai elite-elite internasional.

Kesuksesan kapitalisme Barat di era globalisasi ini telah didukung pula oleh lembaga-lembaga ekonomi dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), kelompok negara-negara G-8, serta perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Organisasi-organisasi tersebut demikian berpengaruhnya dalam menciptakan tata ekonomi kapitalis dan dibutuhkan oleh banyak negara, terutama negara yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, seperti Indonesia, Argentina, Afghanistan, Irak, Brazil, dan Kamboja.

Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, dalam bukunya Globalization and Its Discontent menyebutkan bahwa IMF dan Bank Dunia bahu-membahu mengusung neoliberalisme dan neokolonialisme di muka bumi. Kritik Stiglitz yang pernah menjadi Wakil Presiden Bank Dunia ini menggarisbawahi, tentang kebijakan IMF, teruta ma di negara-negara miskin. dibuat tanpa memerhatikan kesiapan costal, politik, dan kelembagaan sebuah negara.

Kecenderungan-kecenderungan globalisasi dalam bidang ekonomi juga terlihat dari munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapijuga oleh masyarekat di seluruh dunia melalui penjualan saham dan bursa efek. Kegiatan operasional perusahaannya pun tersebar di berbagai kawasan Junta. Sebagai contoh. perusahaan minuman Coca-cola dan restoran last food (makanan siapsaji) McDonalds yang berpusat di Amerika Serikat, telah membuka cabangnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Hal Yang samajuga dilakukan oleh perusahaan perusahaan besar lainnya, seperti IBM, General Motors, Shell, British Petroleum, Freeport, Sony, dan Honda. Perusahaan-perusahaan ini mempunyai banyak cabang di luar negeri, mereka mempunyai sumber dana, teknologi, dan kemampuan lobi yang hampir tiada bandingnya. Keberadaan perusahaan multinasional dan transnasional tersebut beserta investasi yang mereka bawa menjadi harapan banyak negara, baik miskin maupun kaya. Investasi yang mereke tanamkan sangat diharapkan untuk melakukan pembangunan dan memacu pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, dan dengan demikian meningkatkan taraf hidup masyarakat.

2. Dampak Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya

Melalui arus informasi dan komunikasi, telah membuat makin globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Gaya berpakaian warga kota-kota besar di negara-negara berkembang tidak dapat dibedakan dengan gaya berpakaian warga kota di Amerika Serikat dan Eropa. Celana jeans dan potongan rambut, misalnya, telah menunjukkan betapa globalisasi telah memengaruhi warga dunia. Demikian pula jenis musik jazz dan rock, turut pula menjadi “budaya dunia”. Di samping jenis makanan Italia (seperti pizza), Amerika Serikat (seperti kentucky fried chicken) dan Eropa lainnya, tumbuh pula “budaya lain” seperti chopstick (sumpit), sushi (jenis makanan Jepang), noodle (mi), yang tadinya jenis makanan yang sangat lokal (nasional), sekarang telah menjadi “budaya dunia”.

Hal yang sama juga terjadi di dunia hiburan, di mana film-film Hollywood (seperti Mickey Mouse dan Donald Duck, dan James Bond) dapat dinikmati oleh warga masyarakat di berbagai dunia, termasuk negara-negara yang tadinya anti-Barat, seperti Afghanistan setelah rezim Taliban terguling. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/VCD atau DVD di berbagai kota di dunia, telah menunjukkan gaya hidup yang diciptakan oleh kaum kapitalis menjadi gaya hidup global. Kehidupan seks bebas (free sex), sekuralisme, individualisme, konsumerisme, gaya hidup mewah, sudah menjadi gaya hidup global pula. Oleh karena itu, kita harus bersikap waspada dan selektif dalam menghadapi keragaman budaya dunia tersebut.

3. Dampak Globalisasi dalam Bidang Politik

Dampak globalisasi dalam bidang politik, antara lain, adalah negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Pasca-Perang Dunia kedua, banyak negara baru muncul dan menjadi negara nasional yang berdaulat. Negara-negara baru ini, yang kemudian sering disebut sebagai negara-negara sedang berkembang (developing countries) atau negara-negara dunia ketiga (the third world), dihadapkan pada dua masalah utama, yakni kehancuran ekonomi akibat perang dan penjajahan, dan masalah identitas nasional sebagai negara bangsa (nation building).

Di bidangsosial dan ekonomi, negara-negara yang baru merdeka ini dihadapkan pada rendahnya pendapatan perkapita yang berarti juga kemiskinan pada sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah pedesaan, kondisi kesehatan yang berada di bawah standar, demikian juga halnya dengan sarana pendidikan yang kurang memadai. Di sisi yang lain, sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian tradisional. Industri tidak berkembang karena penjajahan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembangunan. Akibatnya, dibandingkan dengan negara-negara Eropa (yang sebagian besar adalah negara penjajah mereka), mereka jauh tertinggal di belakang.
Dihadapkan pada masalah-masalah ini, para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dan dalam rangka mengejar ketertinggalan mereka dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang lebih maju. Selain itu, juga ditujukan untuk membangun legitimasi kekuasaan mereka yang masih rapuh. Para penguasa baru ini berharap bahwa melalui pembangunan ekonomi, mereka akan mendapatkan legitimasi yang kuat untuk memerintah sebagian besar rakyatnya.

Dihadapkan pada kemiskinan penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, para elite politik di negara-negara berkembang terdorong untuk segera melakukan pembangunan. Pada periode 1950-an dan 1960-an, hampir sebagian besar negara sedang berkembang, bahkan termasuk Jepang yang kalah dalam Perang Dunia kedua, menyusun berbagai strategi untuk melakukan pembangunan ekonomi dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki taraf kehidupan rakyat.

Kondisi inilah yang membuat peran negara begitu signifikan dalam pembangunan. Demikian juga yang terjadi di Eropa Barat selama Program Marshall Plan, negara menjadi salah satu aktor dominan dalam pembangunan ekonomi. Indonesia, misalnya, dalam masa pemerintahan Orde Baru mengembangkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ditujukan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Perubahan peran negara bangsa dalam pembangunan bergaung pada tahun 1970-an, dimana pengurangan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi dan menyerahkan mekanisme ini sepenuhnya pada pasar. Sekarang ini, liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah menjadi ciri khas perekonomian abad ini. Setiap negara bangsa harus melakukan reorientasi menyangkut paradigma pembangunan mereka. Mereka tidak mungkin mengambil jalan ekstrim dengan menerapkan kebijakan proteksi ketat terhadap pasar dan mengisolasi diri dari perekonomian internasional. Cina, misalnya, yang bertahun-tahun melakukan proteksi ketat terhadap pasar dalam negeri lambat-laun mulai membuka diri dengan pasar internasional. Hasilnya dalam lebih kurang 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, Cina diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi politik yang signifikan.

Dampak globalisasi di bidang politik lainnya adalah timbulnya gelombang demokratisasi di sejumlah negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya komunisme, dambaan akan kebebasan dan keinginan untuk menegakkan demokrasi memacu perubahan politik di banyak negara. Rezim-rezim otoriter apa pun warna politiknya tumbang satu per satu dilanda arus perubahan ini.

Angin demokratisasi berdampak bagi masyarakat Cina dengan munculnya tuntutan kebebasan demokrasi pada tahun 1989. Peristiwa berdarah yang dikenal dengan “Peristiwa Tiananmen” tersebut berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan yang menewaskan ribuan mahasiswa dan pemuda. Di Filipina, rakyat melakukan gerakan sosial (people power) dan berhasil menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Pada tahun 1991, politik apartheid dihapuskan di Afrika Selatan. Perubahan yang sama juga terjadi di Eropa Timur, rakyat melakukan demonstrasi menggulingkan rezim komunis yang berkuasa. Kasus serupa juga terjadi di Indonesia, yaitu dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998.
Newer Post Older Post Home