Koori Nagawa Network. Powered by Blogger.

BUDAYA POLITIK INDONESIA

By |
Budaya politik parokial (parochial political culture)




Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik, sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.

Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai lapisan masyarakat.

Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan yang satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan.

Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti keterikatan pada profesi.

Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan demikina parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.

Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.

Budaya politik kaula/subjek (subject political culture)

Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.

Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan (input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek menyadari telah adanya otoritas pemerintah.

Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif. Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.

Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap yang demikian.

Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya. Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan kidiktatoran.

Budaya politik partisipan (participant political culture)

Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi.

Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi, memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif. Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka menolak atau menerima.

Budaya politik campuran (mixed political cultures)

Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional, struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras, dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format politik karena gagal mencapai harmoni.

Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik campuran.

Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik murni (parochial, kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi tipe-tipe kebudayaan politik atau disebut budaya politik campuran (mixed political cultures).

Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :

1.Kebudayaan subjek parokial (The Parochial-subject Culture)

Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.

Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang memiliki "kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian, kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik, psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem politik itu.

Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.

2.Kebudayaan subjek partisipan (Subjek Participant Culture)

Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif.

Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.

3.Kebudayaan parochial partisipan (The parochial Culture)

Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.

Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.

Newer Post Older Post Home